Cerpen: Kirii
Semua ini terasa
sangat indah. Hingga tak dapat diungkapkan dengan apapun. Seorang sahabat yang
mampu merangkul bahu tuk menepis kegundahan dan kembalikan tawa, seorang kawan yang mampu
ciptakan semangat disetiap harinya, seseorang yang senyumnya selalu terbingkai diwajahnya.
Ntahlah ..semoga akan ada banyak kebaikan yang esok ia dapatkan.
Seperti biasa, aku
dan karibku selalu mengarungi hari bersama. Ntah apa yang membuat kami melekat
seperti amplop dan perangko, bagai kaki dan sandal, layaknya hidung dan upil
(eiiitss .. ^.^).
Keakraban ini sudah
berjalan selama 2 tahun lebih. Kami selalu saling membantu, saling menghibur
walau tembok kelas menghalangi keberadaan kami. Itu tak masalah bagi kami,
karena masih ada banyak waktu yang dapat kami isi dengan sesuatu yang bermanfaat
dan keceriaan. Aku sangat bersyukur mempunyai kawan sepertinya, dia bisa
menerima apapun keadaan dan kekuranganku. Begitu juga denganku terhadapnya.
Kami sama-sama menyukai kabut, yang biasa dapat kami sebut dengan ‘Kirii’ (bahasa jepangnya kabut). Ntah mengapa .. ketika kabut muncul dipagi
hari, seakan-akan imaji kita muncul dengan sendirinya, berjalan seiring dengan
tebalnya kabut.
* * *
Libur panjang kini
telah tiba, aku dan kawanku, Farid memikirkan sebuah cara untuk menghabiskan
waktu liburan ini dengan tidak sia-sia.
“Bagaimana kalau
kita muncak ?” Usulku.
“kemana ?”
“Hmm .. Bromo ?”
“terlalu jauh,
lagipula kita harus membawa uang dan barang barang yang banyak. Semakin
melelahkan.”
Dialog terhenti.
Kami sama sama berfikir.
“Ahaaa ..!!!”
“Hei kau
mengagetkanku saja !” sentakku.
“Aku punya ide bagus
nih ..”
“Apa ?”
“Hmm.. kebetulan
Ayahkukan usaha sapu ijuk, lha gimana kalau .. Ah sudahlah, besok jam 9 pagi
kamu kerumahku. Aku akan tunjukkan sesuatu. Oke..”
Ujarnya sambil
mengacak-acak rambutku.
Akhirnya kamipun
pulang kerumah masing masing. Ntah rencana konyol apa yang akan dilakukan Farid
terhadapku, aku tak tahu. Hanya menunggu hari esok, aku akan tahu apa yang
sebenarnya Farid lakukan.
* * *
Pagi ini aku tak
lagi bermalas malasan. Aku harus tepat waktu untuk menuju rumah Farid. Kalau
tidak, pepatah pepatah jawa itu akan keluar dari lisannya dan itu sangat
membosankan bagiku.
Aku berangkat menuju
rumahnya pukul 9 kurang 10 menit, dan ketika aku sudah sampai didepan rumahnya
ternyata ia sudah menungguku diteras rumahnya. Ia berdiri sambil melihat jam
yang ada ditangannya.
“Tepat waktu. Ya
beginilah seharusnya, orang Indonesia tidak mengulur-ulur waktu,.” Ujarnya.
“Hahaha ya ya..
sudahlah apa rencanamu sesungguhnya ?”
“Ayo ikut aku”
Aku mengikuti
langkahnya menuju belakang rumahnya. Ternyata ia mengajakku ditempat pembuatan
sapu milik orang tuanya.
“Pegang ini.”
Ujarnya sambil memeberikan sebuah alat seperti sikat kayu yang tertancap banyak
paku pada kayu tersebut. Aku sedikit bingung apa maunya. Lalu ia beranjak
mengambil kepala sapu yang belum ada gagang kayunya.
“Aku ingin berbagi
sedikit ilmu kepadamu untuk mengisi liburan panjang ini. Mau nggak ?”
“Oh iya mau..mau ..”
jawabku sambil mengangguk
“Tidak terlalu sulit
kok, kamu hanya perlu menyikat sapu yang serabutnya masih berantakan hingga
menjadi rapi seperti ini “ ujarnya sembari menunjuk sapu yang berada disebelah
kanannya.
“Hmm lalu pakai apa
?”
“Ya ini, sikat paku.
Lihat ya,kuberi contoh. Kamu bisa menirunya setelah ini”
Faridpun mulai
menyikat serabut kepala sapu itu. Terlihat mudah sepertinya.
“ini coba” ujarya
sembari memberikan sikat paku itu padaku.
Aku mulai mencoba,
menyikat sebagian serabut sapu itu. Ternyata tidak semudah yang kulihat. Membutuhkan
tenaga yang kuat pula. Setelah aku dapat menyelesaikan 1 kepala sapu, aku menunjukkannya pada Farid.
“Hmm.. masih kurang
bagus. Ayo coba lagi sampai terlihat bagus. Kalau bagus pasti para konsumen
tertarik.” Ujarnya.
“Huft.. berapa lama
kau belajar seperti ini ?”
“Ah nggak lama kok,
hanya perlu kebiasaan dan kesabaran.”
Dialog kami
terhenti.
Ini bukanlah hal
yang mudah dan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sebenarnya aku lelah, tapi
bagaimana lagi. Aku sudah terlanjur ingin tahu proses pembuatan sapu. Dan
akhirnya aku dapat melakukan hal ini selama berhari-hari dirumah Farid.
* * *
Hari ke-5
“Hey.. bagaimana
dengan ini?” Tanyaku sembari menodongkan sapu yang baru saja kusikat.
“Lha ini baru bagus
(y)”
Aku tersenyum.
“Dan memang
seharusnya seperti ini kita bekerja, tanpa mengulang untuk kedua kali. Itu sama
saja orang yang merugi. Sama halnya juga ketika kita ujian, tak perlu untuk
kerja dua kali dengan cara remidi. Nambah pekerjaan saja..” Ujar Farid.
Benar juga apa yang
dikatakan Farid, memang selama ini aku tidak pernah belajar maksmal hingga
remidi menumpuk ketika ujian. Ternyata ini tujuan Farid mengajakku kerumahnya
untuk melakukan hal ini. Supaya aku sadar, bahwa kerja dua kali hanya membuang
buang waktu saja.
* * *
Sudah berhari hari aku tidak menemui kirii dibukit selatan. Dan pagi ini aku
akan menemuaniya. Aku berjalan menyusuri desa yang masih sepi namun sangat
sejuk, tak lama kemudian aku akan sampai dibukit selatan karena memang jarak
dari rumahku tidak terlalu jauh. Sepertinya aku melihat seorang pemuda yang tak
asing lagi bagiku. Yah.. tak lain dan tak bukan, itu Farid. Pagi sekali ia datang
kemari. Mungkin ia juga merindukan kirii
yang selama berhari hari tidak ia jumpai dibukit selatan ini.
“Hey !!” gertakku
sambil menepuk pundaknya.
Namun Farid hanya
menoleh, tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan. Ia tampak murung.
“Kau kenapa ?”
tanyaku.
Ia tetap diam.
“Kenapa ? apa kau
lupa dengan cara tersenyum ya ?”
Ia masih tetap diam.
Aku bingung apa yang sedang terjadi padanya. Ia tak mau berkata, dan akupun tak
tahu apa yang harus kulakukan.
“Eh kacamatamu
mengembun .” Ujarnya sambil menoleh kearahku.
“Oh iya,
terimakasih” Jawabku sambil melepas kacamata dan mengusapnya dengan tissue yang
berada disaku bajuku. Kemudian aku memakainya kembali.
“Ada apa ? katakan
saja .. “tanyaku.
Farid menghela
nafas.
“Mungkin takkan lama
lagi, aku tidak bisa menemui kirii dibukit
selatan ini. Aku akan menemui kirii yang
lain, dan bukan denganmu juga aku berimaji.” Ujarnya.
“Apa maksudmu ?”
“Aku akan pergi,
mengikuti kehendak ayahku. Aku akan pindah keluar kota bersama keluargaku.”
Ujarnya. Lemas.
Kamipun terdiam.
Aku berusaha
menghiburnya, ingin menepis kegundahannya. Walau sesungguhnya aku juga sedih,
sangat sedih.
“Hmm .,. tak apalah,
kau akan merasakan hidup yang lebih baik disana. Dan percayalah .. kau akan
menemui kirii yang lebih indah.”
“Kamu senang aku
pergi ?”
“Aku senang asalkan
kawanku bahagia”
Tiba-tiba air mata
ini jatuh dari pelupuk mataku. Aku menatap wajah Farid begitu pula ia menatapku.
“Hey, kenapa matamu
berair ? Dasar cengeng ..” Ujarnya sambil mengacak-acak rambutku.
“Kacamatamu basah”
lanjutnya
Akupun merapikan
rambutku kemudian melepas kacamataku dan mengusapnya dengan tissue.
“Lain kali kalau mau
nangis nggak usah pakai kacamata “ Ujarnya
sambil terkekeh.
“Kan nangis tanpa
direncanakan” Jawabku sembari mengacak-acak rambutnya.
Akupun berlari
menjauhi Farid karena aku tahu ia akan membalas dengan mengacak rambutku. Tanpa
kami sadari kami bergurau, menepis kesedihan hingga kirii mulai menghilang dan hangat sinar mentari mulai terasa.
“Sudah .. sudah, aku
capek” Ujarku sembari terengah-engah
kelelahan.
Kamipun kembali
duduk, meluruskan kedua kaki.
“Kapan kamu akan
berangkat ?”
“Tanggal 27 besok
..”
“Sungguh ? hanya
mengitung hari ..” ujarku, lemas.
Mungkin ini terakhir
kali aku menikmati keindahan kirii bersama
Farid, karibku. Dan mungkin dihari-hari selanjutnya, kirii tak seindah yang saat ini kurasakan. Karena aku hanya
menjumpainya seorang diri, tanpa kehadiran karibku ini. Namun aku tetap
barharap, Allah akan menyatukan kami kembali dilain waktu yang lebih baik untuk
menjumpai kirii yang lebih indah.
* * *
Tanggal 27 pagi
Pagi ini aku sengaja
akan kerumah Farid, tanpa memakai kacamata. Memang sedikit aneh dan kurang nyaman
bila memandang. Tapi tak apalah, semua ini karena aku ingin melepas kepergiannya.
Walaupun sebenarnya sangat berat.
Aku mencoba berjalan
agak cepat, khawatir Farid pergi terlebih dahulu.
Pandanganku kurang
jelas namun sepertinya aku melihat Farid dan keluarganya diluar rumah
mempersiapkan barang-barang, mereka akan berangkat.
“Farid … !!”
Teriakku sambil terengah-engah.
Farid menoleh.
“Dinda ? Ada yang
berbeda sepertinya darimu. Tapi apa ya ..”
“Kau akan pergi
sekarang ?”
“Iya, Ayahku ingin
berangkat lebih awal.”
Farid berhenti
berucap. Memandangiku.
“Oh, kacamata !
kenapa kamu tidak memakai kacamata ?” Lanjutnya.
Aku tak menjawab.
“Farid, sudah siap
?” Teriak ibunya dari kejauhan.
Farid hanya menoleh.
Tanpa terasa air
mata ini mulai menetes.
“Dan ini alasanku
tidak memakai kacamata, agar aku tidak susah untuk mengusap air mataku. Dan aku
tak perlu lagi mengusap kacamataku dengan tissue. begitukan yang kamu maksud
waktu itu ..”
Farid hanya
tersenyum. Lalu akupun mengacak-acak rambutnya.
“Hey, kenapa masih
saja mengacak rambutku?’
“Karena belum tentu
esok aku dapat melakukannya”
Dan kamipun masih
menyempatkan untuk bergurau, sebelum Farid benar benar pergi.
“Hmm.. Sudah
waktunya aku pergi.”
“Hati-hati ..”
“Kamu juga, jaga
diri baik baik. Ingat pesanku; jangan sampai bekerja duakali.”
Aku mengangguk.
Lalu Farid beranjak
meninggalkanku menuju keluarganya yang sudah lama menunggu. Dan pagi ini, air
mataku dan juga kabut pagi mengantarkan langkah karibku untuk menemui kirii yang lebih sempurna ditempat yang
berbeda.
Namun aku tetap
berharap, Allah akan menyatukan persahabatan kami kembali dan akan
mempertemukan kami dilain waktu yang lebih baik untuk menjumpai kirii yang lebih indah.
Sampai jumpa kawan..
percayalah kita akan dapat bertemu kembali, suatu saat nanti.
Gresik, 8 Januari 2013 20:15
*mohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penulisan*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar