JALAN KENANGAN
Jalan
ini, bukan hanya dapat dilewati oleh pengendara saja, namun banyak pejalan kaki
yang melewati jalan ini. Karena memang jalan ini sangat strategis.
Dan
gadis itu, tidak begitu mempesona namun sangat sederhana. Ia tampaknya sering
bahkan setiap hari melewati jalan ini. Karena hanya inilah jalan satu-satunya
yang dapat ia lewati ketika ia berangkat dan pulang sekolah, dengan tas
punggung, seragam putih abu-abu dan sepatu hitam. Dan bahkan ia melewati jalan
ini hamper 5 tahun lamanya dengan kebiasaan yang tak pernah berubah. Terkadang
ia hanya berjalan kaki sendiri, namun terkadang ia menyapa dan disapa oleh
beberapa temannya lalu mengajak mereka berangkat sekolah bersama. Kebiasaan itu
tak pernah pernah berubah sejak sigadis baru mengenal jalan ini. Dan diseberang
jalan itu terdapat gang kecil yang biasanya dilewati oleh kawan-kawan lelakinya
berangkat dan pulang sekolah. Namun gadis itu tak peduli. Karena baginya,
memperhatikan hal itu adalah sesuatu yang tidak penting.
●●●●
Sore
itu, sigadis masih berjalan melewati jalan ini, hanya sendiri. Sesekali ia
menundukkan kepalanya, namun saat itu ia tidak sengaja melihat gang kecil
diseberang jalan. Langkahnya terhenti, kedua matanya menatap sepasang mata
diseberang jalan itu, begitulah sepasang mata disana. Matanya berbinar, berbias
dengan cahaya senja. Lambat laun bias matanya memudar. Sepasang mata yang ia
temui diseberang sana telah berjalan digang kecil, tak lagi menatap dan
terlihat kembali berjalan, pulang menuju rumahnya.
●●●●
Di Sekolah...
Dilangkahkan kakinya menyusuri koridor sekolah. Awalnya ia berniat
menuju keperpustakaan. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Sepasang mata senja
itu kembali terlihat olehnya. Sepasang mata yang bias senjananya hingga kini
masih terpancar. Dan gadis itu baru menyadari bahwa pemilik sepasang mata itu
adalah salah satu siswa disekolahnya namun berbeda 1 tingkat tepat diatasnya.
Dan tanpa gadis itu sadari sepasang mata yang tengah diamatinya, balik menatap
pula. Mereka saling beradu pandang. Sedetik kemudian, sigadis menunduk. Mencoba
menutupi semburat merah yang mulai timbul kedua pipinya. Ia pun kembali
melangkahkan kakinya menuju perpustakaan.
Sejak
itu, keduanya saling bertemu tanpa disengaja. Namun tak sepatah katapun terucap
diantara keduanya. Dan sejak itu pula sigadis sering memperhatikannya.
Memperhatikan seorang pemuda yang membuat sigadis enggan untuk melepaskan
pandangannya. Mulai dari hal yang terkecil hngga suatu hal yang biasa pemuda
itu lakukan, gadis itupun tahu. Bahkan sigadis faham jika ketika waktu
istirahat pemuda itu menghilang dari kelasnya. Pemuda itu lebih sering
menyendiri dan melantunkan ayat-ayat suci disudut sekolah ketimbang harus membuang
uang dan waktu demi suatu hal yang tidak begitu bermanfaat. Hingga mungkin pada
akhirnya sigadis mengagumi pemuda itu dengan segala hal baik yang pemuda itu
lakukan.
Dihari
yang berbeda, tepatnya diperpustakaan sekolah, gadis itu beranjak dari tempat
duduk perpustakaan. Ia akan kembali kekelas. Namun saat tepat didepan pintu,
langkahya terhenti, ia terkejut. Ia melihat sepasang mata senja itu tepat 120cm
dihadapannya.
“Kau
?” Tanya sigadis.
“Kenapa
?” Pemuda itu balik bertanya, heran.
“Ah...
Tidak! “ Jawab sigadis sembari berpaling dari hadapan pemuda itu, berjalan
cepat, dan kembali kekelas.
Hingga hampir satu tahun lamanya hanya
sebatas itu perkenalan mereka berdua, tanpa banyak bertukar kata. Mereka hanya
selalu mengakhiri pertemuan mereka dengan saling memandang ketika mereka pulang
dari sekolah dan saat itu senja mulai datang dijalan ini dan gang kecil
diseberang sana. Begitulah hari demi
hari yang mereka lakukan.
●●●●
Udara
yang sejuk dipagi hari ini membuat sigadis duduk tenang dikursi perpustakaan
sembari membaca buku, tatapannya focus. Hingga ia tak menyadari bahwa pemuda
itu melangkah mendekatinya.
“Ehhmm
...” Sapa pemuda itu.
“Kau
..? Ada apa ?” Ujar sigadis terkejut sembari menutup buku.
“Maaf,
apa aku mengganggumu ?”
“Tidak
..”
Dan saat itulah mereka banyak bertukar
kata, membicarakan hal yang penting sampai bahkan hal yang tidak penting
sekalipun. Hingga bel masuk memisahkan pembicaraan dan pertemuan mereka
diperpustakaan. Mereka pun kembali kekelasnya masing-masing.
Siang
ini, sigadis berjalan menyusuri koridor kelas. Namun lagi-lagi langkahnya
terhenti, ada seseorang yang memanggil namanya. Ia menoleh kebelakang. Ia
melihat sosok kepala sekolah berdiri tegak didepan ruang guru, dengan peci dan
beberapa uban terlihat diantara rambut hitamnya yang tak terhitung. Sepertinya
beliaulah yang memanggil gadis itu. Gadis itu berjalan mendatangi kepala
sekolah.
“Wavira Athiyyah..?” Tebak Bapak kepala
sekolah.
“Iya
pak. “
“Boleh
minta tolong sebentar?”
“Oh
iya Pak, tentu.”
“Tolong
ambilkan map hijau saya diloker kantor, loker nomor 2.”
“Iya
pak.”
Gadis itupun berjalan cepat menuju
kantor. Matanya mencoba menilisik loker nomor 2, mencari map berwarna hijau.
Setelah gadis itu menemukannya, ia membawa map itu ditangan kanannya. Lalu ia
memandangi map itu sambil berjalan. Lama kelamaan, sigadis membuka map hijau
itu, hanya sekedar ingin tahu. Tiba-tiba bola matanya focus pada satu arah,
pada sebuah tulisan yang berada pada map hijau tersebut. Lagi-lagi langkahnya
terhent. Ia melihat nama yang tidak asing pada sebuah lembar kertas. Ya .. itu
adalah pemuda yang selama ini ia perhatikan. Gadis itu mencoba membaca
rangkaian kata yang terdapat pada kertas putih berkulit map hijau itu. Ia tak
menyangka, ternyata pemuda yang membuatnya terpaku menatap mendapatkan beasiswa
belajar diluar negri. Dengan kabar yang gadis itu ketahui dengan sendirinya, ia
semakin mengagumi pemuda itu. Betapa hebatnya pemuda itu membuat orang tuanya
senang dan orang-orang disekelilingnya bangga.
Sigadis
ingat bahwa kedatangan map hijau ini dinanti oleh kepala sekolah. Lalu gadis
itu bergegas menuju ruang guru dan memberikan map hijau ini pada kepala
sekolah.
●●●●
Pagi ini, sebelum bel
masuk berbunyi, ia sengaja berjalan menuju sudut sekolah untuk menemui pemuda
itu. Ia melihat pemuda itu sedang berduaan, sangat mesra. Hanya dengan
Al-Qur`an kecil yang biasa pemuda itu ia lantunkan. Gadis itu mendekati, dan gadis itu menjadi
yang ke-3 bagi keduanya. Langkah kakinya dapat dirasakan pemuda itu. Pemuda itu
menutup Al-Qur`an dan menoleh kearah sigadis.
“Kau ..? Ada apa ?
tumben sekali ..” Pemuda itu membenarkan pecinya.
“Oh ya, bukankah kau
mendapat beasiswa untuk belajar diluar negri?” Lanjut sigadis sembari merapikan
kerudung putih yang membalut kepalanya.
Sigadis
tersenyum. Sedang pemuda itu hanya diam.
“Kenapa? Kau tak suka
jika aku menanyakan hal ini?”
“Bukan begitu ..” Pemuda
itu menghela nafas.
“Lalu ?”
“Aku hanya bimbang.”
“Apa yang perlu
dibimbangkan? Semua ini sudah jelas.”
“Aku bingung, aku
mengambil beasiswa itu atau tidak. Diluar negri pula, itu tidak jelas.”
“Orang tuamu
mengizinkan?”
Pemuda itu
mengangguk ...
“Hhmm, selama ini sudah
jelas. Banyak orang yang mendamba untuk dapat belajar dinegri orang. Dan
kesempatan yang banyak orang damba kini sedang berpihak kepadamu. Apa kau masih
saja menolak? Semua ini tidak mudah
didapat.”
Pemuda itu diam
..
“Kau adalah salah satu
dari berjuta-juta orang yang beruntung didunia ini. Pergilah ! buat orang tuamu
menangis haru. Buat orang-orang disekelilingmu bangga, termasuk aku.” Senyum
sigadis itu merekah.
Keduanya
bertekuk pandang, menatap hangat. Pemuda itu berdiri tegak, seperti mempunyai
kekuatan yang baru terisi. Pemuda itu semakin yakin dengan takdir yang kini
sedang berpihak. Ia tersenyum, gadis itupun membalas senyum.
“Kalau begitu, kapan
rencananya akan berangkat?” Tanya sigadis.
“Bulan depan.”
“Tidak .. semua ini
terlalu cepat.”
Pemuda itu
menghela nafas.
“Dengan pertemuan yang
semakin singkat inilah, kita ukir kenangan seindah mungkin. Sebuah kenangan
yang terlalu berharga untuk dilupakan, sebuah kenangan yang dapat dijadikan
pelajaran.” Pemuda itu meyakinkan.
Gadis itu
tersenyum sejenak lali melangkahkan kaki, tinggalkan pemuda itu yang hanya berdua
dengan Al-Qur`an kecil yang berada ditangan kanannya. Hingga bayangan sigadis
tak terlihat oleh pemuda itu.
Waktu terus bergulir,
kebiasaan mereka berdua tak pernah berubah, saling menatap untuk mengakhiri
pertemuan disenja hari. Hingga tanpa meraka sadari waktu pertemuan mereka makin
menipis. Pemuda itu akan pergi memenuhi beasiswa. Sigadis kembali akan menemui
pemuda itu ditempat biasa, sudut sekolah. Wajahnya sayu, berjalan sedikit cepat
dan membawa gulungan kertas berbalut pita cokelat. Pemuda itu menoleh kearah
sigadis. Lagi-lagi pemuda itu dapat merasakan langkah kaki sigadis. Pemuda itu
tersenyum, sigadis membalas senyum sayu.
“Orang tuamu pasti
bangga.” Gadis itu memetik daun pohon mangga yang ada disampingnya.
“Masih banyak orang yang
lebih dariku.”
Keduanya
terdiam ..
“Kau masih tetap seperti
dulu, tetap menjadi orang yang baik, Bahkan lebih baik.” Mata sigadis mulai
berkaca-kaca.
“Aku tak sebaik yang kau
fikir.” Kaki kanan pemuda itu menendang batu kecil.
“Ah .. sudahlah !” Gadis
itu mengusap sudut matanya.
Kemudian ia
memberikan gulungan kertas berpita cokelat pada pemuda itu.
“Apa ini ?” Pemuda itu
melepas peci.
“Baca saja, aku sengaja
membuat itu untukmu. Sebagai tanda kita pernah berjumpa dan saling mengenal.”
Pemuda itu diam. Ia tampak ingin segera membacanya.
“Semoga kau tak pernah
melupakanku. Namun jika pada akhirnya kau tak menyisikan diri ini difikiranmu,
mungkin .. itu yang terbaik. Aku tak pantas untuk diingat.” Gadis itu menunduk
sambil bermain jari.
“Dan hal yang lebih tak
pantas ialah jika kau mengatakannya seperti itu.”
Gadis itu
mengangkat kepala lalu tersenyu.
“Semoga kau berhasil.”
Ujar sigadis.
“Aku membutuhkan
do`amu.” Pemuda itu memohon.
“Begitu juga denganku.
Sampai jumpa suatu saat nanti.” Gadis itu tersenyum menahan kesedihan, kemudian
melangkah meninggalkan pemuda itu.
Senja kini terasa sangat
berkesan. Gadis itu berjalan sendiri, berjalan menuju rumahnya. Burung-burung
merpati terbang kepakkan sayap saat mereka melangkahkan kaki gadis itu. Gadis
itu tahu, dibelakangnya, diseberang jalan, pemuda itu juga akan pulang menuju
rumahnya. Namun gadis itu tak menoleh kebelakang. Gadis itu terus berjalan.
Hingga pada akhirnya ia berhenti dijalan strategis yang biasa banyak orang
lewati. Sigadis menoleh keseberang, begitu pula pemuda itu. Pemuda itu
tersenyum, sigadis membalas tersenyum,haru. Pemuda itu kembali berjalan, masuk
kedalam gang kecil, pemuda itu tidak terlihat lagi. Senyum sigadis itupun
memudar. Ia sadar bahwa senyumnya juga untuk menutupi kesedihannya. Rasa sedih
yang teramat saat pertemuan singkat ini berakhir dan tak ada yang tahu kapan
semua ini tercipta kembali. Perlahan, bulir matanya jatuh menembus udara,
hingga menatap aspal jalan. Gadis itu kembali berjalan sembari menghapus air
matanya, mencoba menghibur diri dengan udara dan langit senja yang berwarna
kekuning-kuningan. Tempat yang indah sekali.
Dan Aku, sebagai jalan yang biasa banyak orang lewati, juga mereka
berdua, yang setiap hari menghentikan langkahnya walau sejenak untuk saling
bertekuk pandang, dan saling melempar senyum. Akulah yang menjadi jalan
kenangan bagi dua insane yang kini terpisah jarak dan waktu. Yang biasa
mengakhiri pertemuan dengan tatapan mata yang hangat kala senja mulai dating
disetiap harinya. Aku dapat merasakan kebahagiaan diantara keduanya. Bahagia
karena dapat saling mengenal, bahagia akan kesempatan untuk saling bertemu.
Bahkan aku juga dapat merasakan tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk air
mata gadis itu dipermukaanku, saat ia tak lagi dapat memandang mata diseberang
jalan.
Kini aku hanya dapat
melangkahkan kaki sigadis. Tak ada lagi tatapan hangat dari keduanya. Aku hanya
mendapati gadis itu berjalan sendiri, tanpa ada senyuman dari pemuda diseberang
sana. Karena pemuda itu kini telah pergi. Dan senja ini mereka berdua tak lagi
dapat menemaniku, hanya rintik hujan yang tertinggal. Air hujan terus jatuh dan
mengalir dipermukaanku, namun takkan pernah bisa menghapus jejak-jejak mereka.
Karena akulah yang menjadi saksi bisu akan kisah mereka.
Jombang, 17 Februari 2013
Dinda
Nur Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar